Refleksi Kesadaran dari Gagasan Serta Ide Pemikiran Pendidikan Ivan Illich

Rabu, 2 Februari 2022
Ivan Illich

Oleh: Nandhy Prasetyo

Ivan Illich merupakan tokoh pendidikan yang  lahir di Wina, Austria (1926-2002). Namanya menghebohkan dunia pendidikan bukan hanya di Amerika tetapi hampir seluruh dunia sejak ia menerbitkan karya besarnya yang berjudul “De Schooling Society” di tahun 1971.

Secara garis besar esensi dari karyanya berisi kritikan terhadap seluruh sistem pendidikan formal yang sudah diterapkan hampir dibeberapa negara. Kepeduliannya  sebagai seorang tokoh pemikir pendidikan yang sangat kritis menyoroti perkembangan pendidikan, dari mekanisme pendidikan yang telah berlangsung.

I shall define’ school’ as age specific, teacher, related prosses requiring full time attendance at on obligatory curriculum” sekolah formal membatasi hakikat proses pendidikan secara luas, di mana diidentikan dengan batasan-batas khusus usia tertentu, keterikatan dengan proses guru yang mengajar, memerlukan waktu (tempat), serta ada kurikulum wajibnya.

Advertisements

Baginya, pendidikan semacam itu justru akan mengebiri  makna, dan tujuan utama pendidikan bagi manusia. Kegusaran Illich mampu dipostulatkan Tilaar (2012) dengan baik, menurutnya  keberatan Illich tidak lain keraguannya akan lembaga sekolah, hal ini terafiliasi dari banyaknya kepincangan-kepincangan output pendidikan formal yang tumpang tindih dengan nilai-nilai praktis masyarakat. Ia juga menjelaskan, baginya sekolah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya dan bukan lagi merupakan suatu arena untuk membebaskan pemikiran generasi muda.

Meskipun Illich tidak bermaksud menghapuskan keberadaan lembaga sekolah, namun lebih menekankan pada suatu tinjauan kritis terhadap lembaga pendidikan dalam hal proses, fungsi dan peranannya dalam masyarakat yang demokratis. Secara substansi sistem pendidikan yang dikehendaki Illich lebih disandarkan pada experience yang afirmatif pada penegasan emansipatoris.

Apabila ditarik pada persoalan yang lebih luas, pendasaran Illich serupa dengan ide Harbermas dalam “Knowledge and Human Interst” di mana di dalamnya melukiskan proses emansipatoris diperoleh melalui jalur refleksi diri. Kecemerlangan Harbermas dalam konteks tradisi perlawanan sekolah Frankfurt terhadap positivisme yang dianggapnya  merupakan bentuk pemikiran nondialektis dan satu dimensi.

Dengan penuh gairah Harbermas mengurai kembali persoalan di sekitar epistimologi dan filsafat sejarah yang muncul di akhir abad ke-18, dengan mengedepankan refleksi diri sebagai jalan pemenuhan pentingnya kesadaran kritis masyarakat. Pendasaran konstruk berfikir inilah yang dijadikan pondasi Illich dalam ruang lingkup pendidikan yang menurutnya penuh dengan penyelewengan.

Sebagai seorang tokoh besar dunia pendidikan, Ia tidak hanya memberikan kritikan tajam terkait dengan sistem pendidikan yang dianggapnya keliru. Illich merenungkan bentuk pendidikan yang ideal antara lembaga pendidikan yang menghasilkan (output pendidikan) lebih bersifat resiprositas dengan kebutuhan yang substansial dimasyarakat.

Oleh karenanya, Illich menawarkan ide pemikirannya tentang sistem pendidikan terkait dengan lembaga pendidikan yang bercirikan:

A. Pendidikan yang bersifat praktis (tepat guna):

1. Buatlah sistem pendidikan yang menitik beratkan pada daya guna yaitu pendidikan kritis terhadap dunia, kemauan serta kemampuan yang progres pada perubahan.

2. Melalui self empowerment menuju social empowerment” bentuklah individu seutuhnya sesuai dengan kemampuannya yang berkwalitas, setelah itu arahkanlah pribadinya untuk melakukan perubahan di masyarakat.

3. Dalam menghadapi realitas dunia tidak diperlukan retorika yang bersifat verbal, akan tetapi berfokus pada profisionalitas yang membumi.

B. Pendidikan yang bersifat membebaskan:

1. lembaga pendidikan harus membebaskan fasilitas yang dibutuhkan oleh murid, yang mendukung arah kemajuan, seperti perpustakaan, musium, fasilitas praktik (pendidikan harus memberikan ruang kesempatan pada semua orang untuk memperoleh sumber belajar setiap saat),

2. Sistem pendidikan harus bersifat terbuka, memberikan kesempatan kepada siapa saja yang memiliki ketrampilan (tidak harus guru), (pendidikan memberikan kebebasan kepada sisapapun yang ingin memberi/menerima pendidikan),

3. Memberikan kebebasan seluas-luasnya pada kreatifitas, dan kritis terhadap semua hal (menjamin tersedianya masukan dari pihak luar guna meningkatkan kemajuan pendidikan),

4. Bebas dari kewajiban-kewajiban profesi, jasa dalam hal pendidikan (bebas dari strata pendidikan, dan kurikulum wajib, apapun yang dibutuhkan individu saling memiliki perbedaan)

C. Pendidikan demokratis:

1. Demokratis dalam memperoleh pendidikan (tidak adanya strata, misalkan sekolah unggulan, sekolah yang hanya dapat diakses oleh kalangan keluarga yang memiliki tingkat ekonomi tertentu),

2. Demokratis dalam sistem pembelajaran (pembelajaran tidak terikat tetapi buatlah siswa aktif dalam proses pembelajaran),

3. Demokratis dalam pengembangan materi pembelajaran (dapat dilakukan dengan keterbukaan, memperbesar peran masyarakat dalam pendidikan),

D. Pendidikan yang diberikan pada orang dewasa:

1. Berikanlah pengajaran yang sesuai, siswa dapat mengemukakan apa yang mereka butuhkan dan apa yang harus mereka pelajari (buat semacam diskusi diluar kelas/ kebebasan ruang belajar) “Jadikanlah setiap orang menjadi guru, setiap waktu adalah waktu belajar, jadikan setiap tempat menjadi tempat untuk belajar”,

2. Proses belajar harus bersifat suka rela, tumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan melalui paksaan ataupun pembatasan,

E.  Sediakan jaringan kesempatan ”Oppertunity wab”:

1. Berilah fasilitas magang kegiatan di luar sekolah, misalnya perpustakaan, laboratorium, ruang pertunjukan dan musium,

2. Lakukan studi banding atau pertukaran keterampilan,

3. Membentuk komunitas dalam belajar, dalam seni misalnya sanggar,

4. Sediakan seorang yang kredibel dan memiliki kemampuan yang bisa dengan mudah diakses untuk menjadi guru.

Selain memberikan perhatian terhadap sistem pendidikan Illich juga memberikan pandangan dan fokus pada bidang pendidikan khususnya terkait dengan guru. Guru yang ideal menurut Illich harus berfungsi sebagai pengawas, guru bertindak sebagai moralis (membentuk moral siswa), serta guru yang baik harus bertindak sebagai ahli terapis (yang mampu memberikan solusi pada persoalan murid, mengembangkan potensi siswa dan kepribadian siswanya).

Selain memberikan masukan-masukan terkait pendidikan, Illich juga memberikan kritikan tajam terhadap dunia pendidikan dalam “deschooling society”. Kecemasan-kecemasannya pada dunia pendidikan, seakan relevan dengan persoalan pendidikan dewasa ini. Untuk lebih memahami buah pemikiran Illich terkait dunia pendidikan, ada baiknya kita mulai dengan refleksi:

Apakah pendidikan itu substansial lagi penting, serta apakah sistem didalamnya juga menunjang legitimasi “penting” terkait dengan pendidikan?

Sekarang kita liat beberapa keyword pemikiran kritikannya terhadap dunia pendidikan,

  1. Pendidikan merupakan proses belajar seseorang seumur hidup, sehingga proses belajar tidak dibatasi dengan pembatasan umur, lain pada itu, belajar tidak hanya terjadi diruang-ruang kelas (sekolah maupun instansi)
  2. Keterlibatan pihak lain dalam kemajuan belajar tidak hanya melalui peran guru maupun instansinya
  3. Pendidikan harus bersifat humanis bukan malah dehumanisasi dengan alasan karena setiap orang mempunyai kepentingan/kebutuhan yang berbeda terhadap mekanisme pembelajaran
  4. Semangat belajar harus bertujuan pada peningkatan kwalitas manusia
  5. Manusia itu belajar dari alam, bukan mempelajari alam (sehingga bisa memanifestasi kenyataan sesuai realita dan bahan ajar)
  6. Ijasah bukan satu-satunya penentu legitimasi seseorang
  7. Kualitas pendidikan yang utama bukan lembaga pendidikan
  8. Dalam sekolah konvensional terdapat “hyden curriculum” sehingga seolah-olah siswa hanya bisa menjalani realitas kehidupan apabila mempelajari apa yang diajarkan oleh sekolah/kurikulum sekolah
  9. Sekolah-sekolah konvensional hanya menjual kurikulum pendidikan dan sebagai distributornya adalah guru (sehingga guru ditentukan oleh instansi/ tidak memiliki kedaulatan)
  10. Semakin besar biaya yang digunakan dalam merumuskan kurikulum , maka semakin besar biaya pendidikannya (sehingga pendidikan tak ubahnya sebagai barang komoditi)
  11. Sekolah konvensional biasanya bermuara pada peniruan, bukan hasil dari pencarian yang kritis

Esai-esai di atas merupakan kritikan Illich terhadap dunia pendidikan khususnya sistem pendidikan yang sekarang banyak dianut oleh beberapa negara dewasa ini. Melalui De Schooling Society oleh Ivan Illich sekiranya menjadi refleksi, yang sekaligus menawarkan pentingnya kesadaran kepada dunia untuk meninjau ulang sistem pendidikan.

Wacana munculnya budaya bisu di masyarakat yang sempat menyibukkan beberapa para pemikir kritis, sudah saatnya ditinggalkan untuk mendesak diarahkan kepada sistem pendidikan yang bersifat revolusioner. Kepekaan seorang Illich terkait kisruh yang terjadi di dalam masyarakat dieranya, seakan linier dengan zaman-zaman sesudahnya.

Menyoal distorsi itu, Tilaar (2012) mengingatkan secara ekslusif tentang apa yang diutarakan Ivan Illich, merupakan salah satu contoh mengenai perlunya pemikiran kembali dan perumusan ulang fungsi pendidikan di dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan pernyataan yang telah dipaparkan diatas serta beberapa eksponen ide-ide pokok dalam bidang pendidikan, tidak berlebihan kiranya kita menobatkan seorang Ivan Illich kedalam salah satu tokoh pemikir sosialis.

Peneguhan itu bukan tanpa sebab, karena bagaimanapun nuansa humanisasi implisit melekat sebagai landasan utama pemikiran pendidikannya. Sebagaimana ilmu merupakan konstruk sosial, Illich secara substansi dalam Tilaar berasumsi bahwa pengetahuan yang diperoleh dalam lingkungan sekolah selalu terikat dengan suatu interest.

Metode-metode yang dipakai cenderung banyak dipakai oleh sekolah konvensional biasanya mengadopsi gaya bank dalam mentransferkan pengetahuannya kepada murid, sehingga berpotensi mengungkung kebebasan individu (peserta didik). Dalam kesempatan yang sama Tilaar 2012 juga menjelaskan, pemaparan Illich dalam “De Schooling Society

“Menurutnya sekolah telah menjadikan alat represif dan ideologi yang hidup dalam masyarakat. Rakyat banyak yang termarginalkan terus-menerus dan dibohongi di dalam ruang-ruang kelas di sekolah”.

Terkait dengan kecurigaan-kecurigaan pemikiran Illich tentang lembaga pendidikan, hal yang sama rupanya menjadi acuan dari beberapa tokoh pemikir pendidikan yang lain seperti Everett Reimer dengan bukunya “School Is Dead” yang lumayan menggemparkan dunia pendidikan pada massanya. Ia menjelaskan dengan menunjukan bahwa sekolah-sekolah sebenarnya telah mematikan kreativitas dan memasung kebebasan murid.

Baginya sekolahan atau lembaga pendidikan harus dibebaskan dari perampasan hak kebebasan manusia untuk berfikir.  Lebih jauh lagi, Illich dan Reimer menaruh kecurigaan pada keterikatan lembaga pendidikan dengan struktur kekuasaan yang mengarah pada lembaga reproduksi sosial. Menurutnya, metode belajar yang mengadopsi gaya bank disekolah-sekolah konvensional memang bermuara pada proses reproduksi sosial.

Situasi lingkungan sekolah yang demikian tidak lebih hanya akan menjadikan sekolah sebagai lembaga transmisi produk-produk budaya yang sudah ada. Sejalan dengan itu Tilaar berpendapat, kreasi budaya untuk pengembangan menjadi tertutup dan proses serta tindakan yang dikembangkan di sekolah hanya sebatas mereproduksi peranan, ketrampilan, dan ide yang sudah established. Ia juga berpendapat keluhan-keluhan Illich dan Reimer memang ditujukan pada model-model sekolah tradisional yang demikian.

Tanpa bermaksud mengesampingkan pemikiran “Para Mutiara Bangsa” bidang pendidikan kita, bagaimanapun refleksi diri dalam upaya meningkatkan kesadaran kritis masyarakat oleh beberapa tokoh pendidikan dunia disandarkan pada “azaz menjunjung tinggi nilai-nilai humanis”. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.