Jakarta, Sumselupdate.com — Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia akan memberikan masukan dan pertimbangan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto mengenai polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditolak pengusaha dan buruh.
Partai Gelora akan menyampaikan pemikiran terkait skema Tapera yang bisa diterima semua pihak berdasarkan literasi di beberapa negara.
“Menyediakan perumahan bagi rakyat memang kewajiban dan menjadi tugas pemerintah. Tapi skemanya harus dipikirkan. Yang ditolak sebenarnya soal skemanya, bukan Tapera-nya,” kata Ratu Ratna Damayani, Ketua Bidang Hubungan Kerjasama Antar Lembaga (Jasama) DPN Partai Gelora, Rabu (12/6/2024) dalam Gelora Talks dengan tema ‘Tapera: Gaji Sudah Tipis Hidup Makin Miris, Kemana Mengadu?
Dikatakan, berdasarkan literasi di beberapa negara, memang ada pelibatan dari partisipasi masyarakat dalam penyediaan perumahan oleh negara bagi warganya.
Namun, hal itu dapat diterima karena pemerintahannya bisa menkomunikasikan secara intensif mengenai tujuan penyediaan perumahan tersebut bagi warganya, dengan baik.
“Sehingga pemerintah perlu memberikan penjelasan kepada publik secara komprehensif dan intensif. Libatkan DPR dan stakeholder lain untuk membahas soal Tapera,” kata Mia, sapaan akrab Ratu Ratna Damayani.
Bagi buruh, kata Mia, pungutan Tapera semakin membebani kemampuan ekonomi mereka, dan berdampak terhadap daya beli masyarakat pada umumnya.
“Ini menjadi catatan Partai Gelora, bahwa komunikasi yang dilakukan pemerintah dirasa tidak intensif, kurang menyeluruh, sehingga menjadi polemik dan kontraksi luar biasa di masyarakat,” katanya.
Menurut Mia, polemik soal Tapera menjadi pembahasan khusus di internal Partai Gelora. Rekomendasi dari pembahasan ini nanti akan disampaikan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto.
“Tentu saja menjadi PR besar kita bersama. Kita akan menyusun pemikiran dari Partai Gelora. Kita banyak membaca literasi di banyak negara, kita akan memberikan masukan dan pertimbangan kepada Pak Prabowo untuk satu skema yang tepat, untuk menjawab kebutuhan penyediaan perumahan rakyat kita,”kata Mia.
Sementara itu, Ekonomi CORE Indonesia Etika Karyani mengatakan, penolakan ramai-ramai terhadap program Tapera akibat sosialisasi program tersebut belum dilakukan dengan baik.
“Kementerian Keuangan bersama BP Tapera harus menjelaskan secara aktif kepada masyarakat, terutama pengusaha dan asosiasi pekerja. Mereka harus dilibatkan, karena mereka yang kena aturan,” kata Etika.
Akibat tidak ada sosialisasi lanjut Etika, menyebababkan program Tapera menjadi polemik dan kontroversi di masyarakat Indonesia.
“Pengelolaan dana bagaimana? Karena OJK juga meminta BP Tapera menindaklanjuti temuan BPK yang menyebut124.960 pensiunan belum menerima pengembalian dana total Rp 567,5 miliar pada 2021. Jadi dananya tidak bisa diambil, rumahnya tidak ada, lokasinya juga tidak jelas dimana,” katanya.
Ekonom Core Indonesia ini mengatakan, pasca pengesahan UU CIpta Kerja, kenaikan upah buruh sangat rendah, bahkan tak bisa mengimbangi inflasi dengan daya beli dan kesejahteraan semakin menurun, ditambah kondisi global tidak menentu.
“Pak Jokowi (Jokowi) harus melihat kondisi ini. Kita berharap agar program Tapera ini tidak menjadi ladang korupsi baru seperti yang terjadi pada kasus Asabri, Jiwasraya dan Taspen atau digunakan untuk pembiayaan lain,” tegas Etika Karyani.
Penasihat Asosiasi Emiten Indonesia Gunawan Tjokro mengatakan, kenaikan gaji buruh di Indonesia sangat lamban dibanding dengan kenaikan harga properti, sehingga menimbulkan gap atau kesenjangan.
“Makanya sekarang jarang ada karyawan, kalau ada pameran perumahan berduyung-duyung meminta brosur. Ini masalahnya, apalagi kalau kita melihat karyawan di level bawah,” kata Gunawan Tjokro.
Sebagai pengusaha, Gunawan bisa memahami upaya pemerintah mengatasi kesenjangan dalam pemenuhan kebutuhan perumahan bagi pekerja tersebut.
“Tapi dengan Tapera banyak asosiasi pengusaha dan serikat pekerja menolak, karena pembuatannya kurang teliti, sehingga banyak dipertanyakan,” katanya.
Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Riden Hatam Aziz meminta agar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat dicabut.
“Kita sudah banyak dipotong untuk BPJS Kesehatan, JHT, belum PPh. Itu potongan pajaknya saja bisa 1 jutaan, sementara gaji hanya upah kita sekitar 3,4, 5 jutaan. Jadi gaji kita bukan hanya tipis, tapi sudah habis dipotong, potong-potong lagi. Makanya buruh akan demo Kemenkeu agar pemerintah mencabut PP tersebut,” kata Riden Hatam Aziz. (duk)