Eksentesi Tanah Ulayat di Indonesia

Penulis: - Minggu, 26 Mei 2024
Ilustrasi tanah ulayat
Ilustrasi tanah ulayat

Seiring perkembangan zaman, pergerakan pola hidup dan corak produksi masyarakat Indonesia dari pola-pola atau corak-corak tradisional menuju ke pola atau corak yang modern mengakibatkan tergerusnya secara perlahan nilai-nilai yang terkandung dalam hak ulayat.

Dewasa ini masyarakat tidak lagi mengedepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir individualistik. Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia yang sangat mendasar, karena tanah memiliki karakteristik yang bersifat multi dimensi, multi sektoral, multi disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi.

Bacaan Lainnya

Mengapa terjadinya konflik pertanahan di Indonesia yang semakin meningkat? dikarenakan pertambahan penduduk yang tinggi dan tanah tidak pernah bertambah. Dan kebutuhan pembangunan sarana untuk umum dan kebutuhan individualis.

Sejarah hukum pertanahan di Indonesia tidak terlepas dari hak ulayat. Jauh sebelum terciptanya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), masyarakat hukum kita telah mengenal hak ulayat. Hak ulayat sebagai hubungan hukum yang konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanahyang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu (Boedi Harsono, 1999).

Hukum tanah adat yang murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong royong dan kekeluargaan, yang diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok teritorial atau genealogik. Hak-hak perorangan atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bersama tersebut. Oleh karena, itu biarpun sifatnya pribadi, dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, tetapi berbeda dengan hak-hak dalam Hukum Tanah Barat, sejak kelahirannya sekaligus dalam dirinya sudah terkandung unsur kebersamaan.

Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum disebut Hak Ulayat. (Boedi Harsono, 1999) Hak ulayat itu sendiri bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat hukum adat.

Pengertian Hak Ulayat

Menurut Ter Haar (dalam Farida Patittingi) hak ulayat adalah hak untuk mengambil manfaat dari tanah, perairan, sungai, danau, perairan pantai, laut, tanaman-tanaman dan binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Menurut Pasal 1 angka 4 RUU Agraria (dalam Farida Patittingi) hak ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, perairan, tanaman serta binatang-binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional

Bagi masyarakat hukum adat tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat penting karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan lebih menguntungkan. Selain itu tanah merupakan tempat tinggal, tempat pencaharian, tempat penguburan, bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan para leluhur persekutuan (Soerejo Wignjodipoero, dalam Aminuddin Salle 2007)

Sementara itu Boedi Harsono (1999) bahwa Hak Ulayat merupakan seperangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Hak Ulayat merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.

Hak Ulayat adalah nama yang diberikan para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya, yang disebut tanah ulayat.

Berdasarkan  pendapat Ahli diatas Unsur  Hak Ulayat masyarakat hukum adat terdiri :

  1. Mengandung unsur hak kepunyaan bersama atas tanah bersama anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata.
  2. Mengandung unsur kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya, yang termasuk dalam hukum publik.

Pada garis besarnya pada masyarakat hukum adat terdapat 2 (Dua) jenis hak atas tanah yaitu: 1. hak perseorangan  hak Tanah Yang dimiliki perorang an didapat melalui pewarisan maupun pemberian atau hiba atau jual beli dan 2. Hak persekutuan hukum atas tanah. Para anggotapersekutuan hukum berhak untuk mengambil hasil tumbuh-tumbuhan dan binatang liar dari tanah persekutuan hukum tersebut. Selain itu mereka berhak mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah serta semua isi yang ada di atas tanah persekutuan hukum sebagai objek (Aminuddin Salle, 2007)

Menurut Dari uraian diatas  bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, harus dilihat pada tiga hal, yaitu :

  1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat
  2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat.
  3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Menurut Maria Sumardjono,

Metode yang digunakan dalam penulisan adalah dengan menggunakan tipe penelitian hukum normatif, yakni mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah, asas, atau dogma-dogma, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan atau Statute Approach yang dijelaskan secara deskriptif berdasarkan permasalahan dengan berbagai aturan-aturan hukum dan literatur, serta mencari suatu opini hukum tentang masalah yang menjadi objek permasalahan Hak Ulayat.

Kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi di Indonesia ditemukan sebagai hasil amandemen kedua UUD 1945. Pasal 18B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyebutkan :

(1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Namun dalam Undang-undang pokok Agraria mengenai Hak Ulayat tidak diatur dengan jelas secara literlux . Kita amati dalam BAB II HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH. Bagian 1. Ketentuan-ketentuan umum. Pasal 16.

(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah:.

  1. hak milik,
  2. hak guna-usaha,
  3. hak guna-bangunan,
  4. hak pakai,
  5. hak sewa,
  6. hak membuka tanah,
  7. hak memungut-hasil hutan,
  8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara .

 

Eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indonesia dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan.

  1. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
  2. Undang-undang Nomor 22 tentang Tenaga Listrik,
  3. Undang-undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua,
  4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
  5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,
  6. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan,
  7. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan
  8. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. ( Maria S.W. Sumardjono)

Dengan Tulisan ini perlunya direvisi unadang – undang pokok Agraria Khusus BAB II HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH. Bagian 1. Ketentuan-ketentuan umum. Pasal 16. Agar Hak Ulayat menjadi Eksis.

Saat ini meskipun Indonesia telah memiliki unifikasi hukum pertanahan yang berpuncak di UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan adanya UUPA tersebut, tidak ada lagi dualisme hukum pertanahan, dimana hukum yang berlaku didasarkan pada golongan masing-masing namun penting untuk diingat bahwa hukum adat dan termasuk pula didalamnya ada hak ulayat adalah merupakan dasar hukum Tanah Nasional.

Lingkungan yang merupakan faktor pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya adalah kepunyaan bersama masyarakat hukum adat. Hak kepunyaan secara bersama disebut beschikkingrecht yang diterima dalam perundang-undangan sebagai hak ulayat yang merupakan hak atas penguasaan atas tanah yang tertinggal dari masyarakat hukum adat.  Kelompok masyarakat adat ini merupakan kesatuan yang mempunyai wilayah tertentu, mempunyai kesatuan hukum, mempunyai penguasa dan mempunyai kekayaan tersendiri, UUPA tidak memberikan pengertian hak ulayat, kecuali menyebutkan yang dimaksud hak ulayat adalah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut “Beschikkingsrecht” (penjelasan Pasal 3 UUPA).

Hak Milik Menurut Hukum Adat

Dalam hubungannya dengan tanah, menurut hukum adat tertanam suatu kepercayaan bahwa bagi setiap kelompok masyarakat hukum adat, tersedia suatu lingkungan tanah sebagai pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya bukan hanya untuk kepentingan satu generasi melainkan untuk generasi berikutnya dari kelompok hukum adat tersebut. Pasal 18B ayat 2 Hukum Pertanahan Indonesia mencantolkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi suatu masyarakat untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat beserta hak ulayat yang dapat dinikmatinya secara aman.

Persyaratan-persyaratan sebagai masyarakat hukum itu secara kumulatif adalah:

  1. Sepanjang masih hidup
  2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat
  3. Sesuai dengan prinsip NKRI
  4. Diatur dalam Undang-undang.

Ketidakjelasan dan ketidaktegasan itu terjadi dikarenakan dua hal, yaitu antara ketidakmampuan dan ketidakmauan pemerintah membuat ketentuan yang umum tentang pengakuan Hak Ulayat dan(hak-hak) masyarakat adat. Tidak mampu karena persekutuan masyarakat adat di Indonesia sangat beragam berdasarkan sebaran pulau, system sosial, antropologis dan agama. Tidak mau karena pengaturan yang kabur tentang masyarakat memberikan ruang diskresi dan hegemoni kepada pemerintah untuk dapat memanipulasi hak-hak asli masyarakat demi kepentingan eksploitasi sumberdaya alam yang berada di wilayah masyarakat adat. Ketidakmauan ini menguntungkan penguasa dan merugikan masyarakat adat.

Kesimpulan

  1. Eksistensi Hak Ulayat dalam hukum positif Indonesia masih ada. Hal demikian diakui dalam UUD NRI 1945 Pasal 18B ayat 1 dan ayat 2 serta dalam berbagai Undang-undang.
  2. Namun Tidak Eksis Dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)

Saran

  1. Keberadaan hak ulayat sebagai roh dari hukum pertanahan nasional tetap harus dijaga kelestariannya. Tentunya dengan menerapkan pembatasan-pembatasannya secara konsisten
  2. Dan Hak Ulayat Dimuat dalam Dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).

 

Daftar Pustaka

Buku :

  1. Harsono Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
  2. Arizona Yance, 2008, mengintip Hak Ulayat Dalam Konstitusi Indonesia.
  3. F. Sihombing, 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Gunung Agung, Jakarta.
  4. Bushar Muhammad, 2002, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
  5. Salle Aminuddin, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Kreasi Total Media, Yogyakarta.
  6. Sumardjono Maria S W, Harmonisasi Kedudukan Hak Ulayat Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Penulis

Zainul Marzadi, SH.,MH.

Dosen Universitas Serasan dan Peneliti Tanah Adat

Bantu Kami untuk Berkembang

Mari kita tumbuh bersama! Donasi Anda membantu kami menghadirkan konten yang lebih baik dan berkelanjutan. Scan QRIS untuk berdonasi sekarang!


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.