Cerpen: Cerita dari Selembar Koran Bekas

Minggu, 10 Oktober 2021
Ilustrasi/ Ist

Senja mulai tiba. Belasan burung camar mulai menghiasi langit. Kepak sayapnya membentang luas. Seluas awan yang biru yang mengornamen cakrawala. Kunang-kunang pun mulai bermunculan. Saling berkejaran. Seiring datangnya suara azan magrib dari masjid yang berkumandang dengan sakral. Relegiuskan jiwa-jiwa manusia untuk bergegas menghadap Sang Maha Pencipta. Bersujud kepada Sang Maha Penyayang.

Lelaki tua itu pun bergegas ke Masjid. Langkah kakinya tergesa-gesa. Takut ketinggalan dengan jemaah yang lain yang terus berdatangan menghampiri masjid.

“Alhamdulillah,” desisnya saat sampai teras di masjid.

Lelaki tua yang akrab dipanggil Pak Tua oleh warga Kampung memang belum terlalu lama tinggal di Kampung Ini. Masih dalam hitungan jarilah. Antara 5 sampai 10 tahun. Ya, saat reformasi mulai bergulir di negeri ini.
Pak Tua datang ke Kampung Ini saat malam hari. Penuh dengan pengawalan aparat dan sejumlah mahasiswa. Riuh reda sekali suasana rumah itu pada malam itu.

Mobil-mobil berseliweran datang ke Kampung Ini. Datang silih berganti. Rumah yang ditempatinya sekarang adalah milik seorang petinggi negeri yang kini telah wafat. Rumah itu bergaya kuno. Sangat kuno sekali. Memiliki nilai artistik. Peninggalan era Belanda. Halamannya sangat luas dan berteras tinggi. Dari terasnya yang tinggi kita bisa menikmati suasana Kampung yang damai dan tenteram dimana semangat gotong royong warganya masih terpatri dalam jiwa penghuninya.

Biasanya, di teras rumahnya itu Pak Tua menerima tamunya dari Kota atau sekedar berbincang dengan warga Kampung yang datang berkunjung ke rumahnya. Pak Tua sangat bahagia kalau ada warga yang berkunjung ke rumahnya. Pintu rumahnya memang selalu terbuka buat siapa saja, tak terkecuali warga Kampung.
Segurat senyum selalu hadir di wajah tuanya saat menyambut tamu yang datang. Dan tentunya dengan tambahan segelas kopi dan ubi rebus sebagai penghangat obrolan.

Dan biasanya setiap tamunya izin pulang, Pak Tua selalu meminta para tamunya untuk datang kembali ke rumahnya.

“Jangan sungkan-sungkan untuk datang ke rumah ini. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk semua orang. Kita jalin silahturahmi. Bukankah dengan menjalin silaturahmi akan menambah usia kita? Termasuk rezeki kita,” ujarnya yang biasa dijawab para warga yang datang dengan kalimat Insya Allah Pak.

Tamu yang berasal dari Kota, biasanya datang ke rumahnya pada waktu pagi. Soalnya sore hari mereka bisa kembali ke Kota. Jarang sekali tamu Pak Tua dari Kota yang menginap. Kecuali yang datang pada sore hari. Itu pun dengan rombongan yang jumlahnya lebih dari empat orang. Dan biasanya mereka mengobrolnya tak di teras. Tapi di halaman belakang rumah Pak Tua yang luas yang dipenuhi rimbunan pohon-pohon mangga yang rimbun.

Derai dedaunannya membuat suasana obrolan makin terinspirasi dan menghijaukan pikiran. Apalagi bagi pak Tua dan tamunya. Tak heran obrolan mereka hingga subuh. Bagi para tamu yang datang dari Kota, Pak Tua adalah guru mereka. Tak heran tamu yang datang dari Kota adalah wajah-wajah yang sering para warga lihat di televisi. Entah apa yang mereka perbincangkan.

Hanya biasanya selalu terdengar frasa kata “Kita Bisa dan Kita Rebut Kembali” keluar dari mulut Pak Tua saat mengantarkan tamunya dari Kota yang akan meninggalkan rumahnya. Dan segulung senyuman bahagia muncrat dari wajah tuanya usai para tamunya meninggalkan rumahnya. Secerah sinar matahari yang mulai menyinari bumi.

Sore itu, seperti biasanya menjelang buka puasa, Pak Tua menikmati senja dari teras rumahnya. Lelaki tua itu sudah lama tidak menikmati tenggelamnya matahari dari teras rumahnya. Biasanya menjelang tenggelamnya mentari, ada sejumput lembayung yang berwarna kemerah-merahan yang datang dan mengornamen senja sebelum hilang ditelan rembulan yang datang dengan sejuta sinarnya yang sangat indah. Mengeksotiskan malam dengan segala kegundahannya.

“Sungguh besar kuasa-Mu, Ya Allah kepada kami manusia. Dan sungguh banyak nikmat yang Engkau berikan kepada kami manusia yang sering alpa kepada-MU,” desisnya seraya matanya tiba-tiba tertuju kepada lembaran koran bekas yang ada di bawah meja yang tak jauh dari tempat duduknya.

Sebuah judul berita terpampang sangat besar di halaman satu dengan huruf kapital. “Presiden Diminta Mundur “.

Melihat bekas koran itu Pak Tua cuma tersenyum. Segurat senyuman yang amat pahit terpancar dari guratan wajah tuanya. Senyuman yang mengandung sejuta arti. Dan hanya lelaki tua itu yang bisa memaknainya.

Warga kampung geger. Dari informasi yang mereka terima, semalam Pak Tua dijemput sejumlah aparat keamanan seusai menunaikan Shalat Teraweh di masjid. Menurut penuturan beberapa warga tetangga rumahnya, proses penjemputan Pak Tua amat cepat. Secepat kilat yang menyambar dinding dan menghanguskan bangunan itu.

“Yang menjemput beliau tampaknya sangat terlatih,” tutur seorang tetangga Pak Tua.
“Hanya dalam hitungan detik, selesai. Dan iring-iringan mobil pun bergerak cepat dengan kecepatan di atas rata-rata,” jelasnya lagi.

” Lalu Pak Tua mau dibawa kemana? Dan apa salah beliau?” tanya seorang warga dengan penuh selidik.

Warga itu membisik sesuatu di kuping warga yang bertanya itu. Warga itu tampak kaget setengah mati. Dari guratan wajahnya tampaknya dia setengah tidak percaya atas apa yang didengarnya dari tetangga Pak Tua. Sangat tidak masuk akal.

Namun sebuah koran bekas yang ada foto Pak Tua dan ditunjukkan tetangga Pak Tua itu seolah telah menjawab semuanya. Termasuk menjawab pertanyaan para warga selama ini, kenapa Pak Tua ada di kampung mereka bertahun-tahun.(**)

Toboali, Minggu 10 Oktober 2021

 

Karya : Rusmin Toboali

Pengirim: Rusmin Toboali

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.