Cerpen: Jampi-jampi dari Bukit Tengkorak

Minggu, 28 Februari 2021
Ilustrasi

Akhir-akhir ini, Kampung Kami selalu gaduh. Pembuat kegaduhannya adalah warga kampung Kami sendiri yang bernama Bik Cek. Bik Cek adalah gadis tua. Hingga usianya mencapai kepala 5, perempuan anak mantan kepala kampung Kami itu belum juga menikah.

Setiap bulan purnama tiba, Bik Cek selalu membuat kegaduhan. Dia menari di depan halaman rumahnya. Dan diiringi dengan suara teriakan yang amat merindingkan bulu kuduk bagi orang yang mendengarnya.

Bacaan Lainnya

Dan setiap dia menari yang disertai teriakan, Tak seorang warga pun yang bisa menyadarkannya. Tak seorang warga kampung Kami yang mampu mendiamkannya. Bahkan para dukun hebat dari berbagai Kampung yang terkenal pun tak sanggup menyadarkan Bik Cek.

Mereka semua angkat tangan. Mereka semua melempar handuk sebagai tanda bahwa mereka tak mampu. Dan menyerah. Kegaduhan yang dibuatnya baru usai, ketika purnama berlalu.

Menyaksikan fenomena yang tak lazim di era yang serba moderen ini, beberapa warga kampung kami berinisiatif untuk melaporkan kondisi ini sekaligus menanyakan kepada Pak Kepala Kampung sebagai Pimpinan kampung Kami.

“Kita harus sampaikam fenomena ini kepada Pak Kepala Kampung,” saran seorang warga Kampung.

“Iya. Sebagai pemimpin Kampung ini, beliau harus tahu dan mencarikan jalan keluar atas fenomena ini. Lagi pula saya dapat informasi, Bik Cek teman sepermainan Pak Kepala Kampung Saat kecil,” sambung warga kampung Kami lainnya.

Beberapa orang warga Kampung Kami akhirnya menemui Pak Kepala kampung untuk menanyakan persoalan yang dialami Bik Cek. Sebagai sesama warga kampung, mereka turut prihatin dengan kondisi yang dialami warga kampung mereka.

“Pak Kepala kampung. Kenapa Bik Cek selalu menari-nari dan disertai teriakan saat malam purnama tiba,” tanya seorang warga.

Pak Kepala Kampung terdiam sejenak. Puntung rokok yang terselip dijari tangannya dimasukannya ke dalam asbak. Pak Kepala Kampung menatap wajah warga yang datang ke rumahnya dengan tatapan mata yang menyiratkan kesedihan.

“Bik Cek itu kena jampi dari Bukit Tengkorak yang sangat terkenal jahat yang dikirimkan seseorang lelaki yang sangat mencintainya, namun cintanya ditolak oleh Bik Cek. Jampi dari Bukit Tengkorak yang sangat jahat itu katanya sudah melekat dalam raga Bik Cek. Dan penawarnya sangat sulit ditemukan,” urai Pak Kepala Kampung dengan panjang lebar. Sementara para warga menyimak setiap narasi dari Pak Kepala Kampung dengan seksama.

“Pak kepala Kampung tahu, siapa lelaki yang sangat tega mengirimkan jampi dari Bukit Penebuk itu? Bukankah Bik Cek teman sepermainan Pak kepala Kampung saat kecil di Kampung ini,” sambung warga yang lain.

“Hari sudah malam. Lebih baik kalian pulang ke rumah masing-masing. Bukankah besok kalian akan bekerja?,” Pak Kepala kampung langsung memotong pertanyaan seorang warga. Para warga terdiam. Dengan langkah yang gontai, mereka meninggalkan teras rumah Pak kepala Kampung. Seribu pertanyaan mengelayut dalam otak mereka.

Malam berikutnya, para warga kembali mendatangi rumah Pak Kepala Kampung. Kali ini jumlah makin banyak. Sekitar belasan orang. Malam itu suasana kampung amat sunyi. Suara binatang tak terdengar sama sekali mengorkestrasi malam. Malam menjadi hening. Asap rokok para warga yang duduk di teras depan rumah Pak Kepala Kampung makin mempekatkan malam itu.

Pak Kepala Kampung akhirnya membuka cerita tentang asal muasal Bik Cek mendapat kiriman jampi dari Bukit Penebuk. Dan siapa lelaki yang telah mengirmkan jampi ke tubuh Bik Cek.

“Biarlah itu menjadi sejarah hidup bagi keluarga Bik cek yang telah menolak pinangan seseorang lelaki yang ingin menikahi anak gadis dengan penuh tanggungjawab dan keikhlasan tapi mendapat hinaan dari keluarga Bik Cek. Dan peristiwa ini menjadi pelajaran yang amat berharga bagi kita semua untuk tidak menghina orang dan merendahkan martabat sesama manusia,” cerita Pak Kepala Kampung.

Mendengar cerita Pak kepala Kampung, warga langsung terpaku. wajah mereka saling bertatapan. Antusiasme untuk tahu makin menjadi-jadi. Para warga terus bertanya kepada pak Kepala kampung. Keingintahuan mereka makin tinggi. Lontaran pertanyaan terus mereka sampiakan kepada Pak kepala Kampung. Pak kepala kampung tersudut dengan lontaran pertanyaan para warga. Dan tabir misteri itu pun tersingkap..

“Sebenarnya, aku lah orang yang telah menyuruh seorang dukun di Bukit Tengkorak untuk mengirmkan jampi-jampi ke raga Bik Cek sehingga setiap malam purnama tiba perempuan itu akan menari sambil berteriak-teriak karena aku kecewa dengan sikap keluarga Bik Cek yang telah menolak pinanganku. Padahal kami saling mencinta. Keluarga Bik Cek terlalu sombong. Mereka menilai orang dari harta dan tahta,” urai Pak Kepala kampung dengan nada suara tenang.

Seketika, para warga langsung terdiam saat mendengar jawaban Pak Kepala Kampung. Suasana teras rumah Pak kepala kampung tiba-tiba hening. Sehening suasana Kampung Kami malam itu. Suara binatang pun tak terdengar sebagai pengornamen keriuhan malam. Sepi.(//)

Pengirim : Rusmin Toboali

Bantu Kami untuk Berkembang

Mari kita tumbuh bersama! Donasi Anda membantu kami menghadirkan konten yang lebih baik dan berkelanjutan. Scan QRIS untuk berdonasi sekarang!


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.