Palembang, Sumselupdate.com – Dalam rangka kajian koleksi Oeang Republik Indonesia Daerah (Orida) Sumatera Selatan (Sumsel), tim dari Museum Negeri Provinsi Sumsel Balaputra Dewa melakukan kunjungan ke Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat.
Tim yang dipimpin Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Museum Negeri Provinsi Sumsel Balaputra Dewa, H Chandra Amprayadi, SH menyusuri jejak sejarah pembuatan Orida Sumsel dari Selasa (16/3) hingga Kamis (18/3).
Selain itu rombongan tersebut sempat mengunjungi sejumlah peninggalan megalit yang berada di Kota Lahat dan Pagaralam.
Sedangkan kunjungan ke Pagaralam yang didampingi budayawan Sumsel Yudi Syarofie dan sejumlah staf Musuem Negeri Sumsel Balaputra Dewa, juga dalam rangka kajian koleksi ruang pamer untuk megalit.
“Dengan kita ke Tanjung Sakti, banyak kita dapati baik pelaku sejarah yang masih hidup, maupun sumber-sumber sejarah dari masyarakat setempat, dan yang lebih menguntungkan kita menurutnya ada saks isejarah yang hidup yang mengetahui sejarah pembuatan Orida Provinsi Sumsel,” katanya, Minggu (21/3/2021).
Selain di Lahat dan Pagaralam, ke depan pihaknya akan rutin melakukan kajian-kajian untuk seluruh wilayah yang ada di Provinsi Sumsel.
“Selain Lahat dan Pagaralam, di daerah juga banyak juga peninggalan sejarah apalagi sudah adanya koleksi di Museum saat ini,” katanya.
Setelah kunjungan tersebut pihaknya akan melakukan kajian lalu dibuatkan buku dan diseminarkan. “Untuk kajiannya bulan April, seminarnya mungkin antara Juni-Juli, sudah Lebaran,” katanya.
Sementara itu, Johan (71), warga Desa Tanjung Sakti, Kecamatan Tanjung Sakti, Kota Lahat menceritakan pada saat agresi militer Belanda kedua tahun 1949 ke bawah, Keresiden Palembang sempat berkantor di rumahnya.
Karena Palembang kondisinya diduduki Belanda, sehingga para pejuang dan tentara ke Tanjung Sakti ini. “Nyetak duitnya di rumah aku inilah, jadi buku tulis lalu dicap,” katanya.
Mengenai cetakan uangnya dia mengaku tidak tahu siapa yang mengambil cetakan tersebut. “Duitnya satu rupiah berlaku di Sumsel,” ujarnya.
Rumahnya ini awalnya disewakan oleh Residen A Rozak selama agresi militer Belanda kedua. Rumah ini belum pernah didatangi Belanda, aman daerah di sini,“ katanya.
Rumah ini menurutnya sempat berganti atap karena sempat bocor dan awalnya atap rumah ini terbuat dari kaleng. “Ibu saya namanya Salima sempat disuruh Residen Rozak jual sahang ke pasar untuk beli kertas,” katanya.
Sedangkan Salima yang berumur 100 tahun mengaku, dirinya disuruh Residen A Rozak untuk menjualkan sahang ke pasar Pagaralam untuk membeli buku untuk mencetak uang sambil jalan kaki.
Dirinya sempat menginap di Pagaralam lalu menyuruh temannya membeli buku di pasar Pagaralam.
“Di Pagaralam aku dapat informasi warga disuruh pulang karena pasukan gajah hijau sedang rapat,” katanya. (bum)