Jakarta, Sumselupdate.com – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Sigit Riyanto khawatir penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mengulang praktik penelitian khusus (litsus) yang dilakukan era Orde Baru.
Sigit mengatakan materi tes yang beberapa di antaranya menjurus pada pertanyaan tentang agama dan paham politik pribadi menjadi masalah tersendiri. Menurutnya, pertanyaan semacam itu merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Apalagi dijustifikasi dan dikaitkan dengan stigma kadrun dan lain-lain itu adalah masalah besar karena menjadi dalih atau cara untuk eksekusi bahkan persekusi. Nah, praktik seperti ini saya khawatir akan mengulang atau jelmaan dulu apa yang dilakukan penguasa orde baru,” kata Sigit dalam acara diskusi daring yang disiarkan melalui kanal YouTube Yayasan LBH Indonesia, Minggu (23/5) seperti dikutip dari suara.com jaringan nasional sumselupdate.com.
Sigit menduga TWK alih status pegawai KPK digunakan untuk menyingkirkan para pegawai lembaga antirasuah yang dianggap tak sejalan dengan pihak tertentu dalam pemberantasan korupsi.
Ia menilai TWK tersebut juga menghilangkan mentah-mentah kinerja 75 pegawai KPK tersebut selama ini.
Dari 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK, beberapa di antaranya diketahui merupakan Kasatgas dari penyidik yang menangani kasus dugaan korupsi yang menarik perhatian publik. Seperti bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 hingga izin ekspor benih lobster (benur).
Selain itu, kata Sigit, TWK yang termuat dalam Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 bertentangan dengan aturan di atasnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
“Sebenarnya TWK ini relevansinya apa dengan kompetensi, track record, kinerja teman-teman yang sudah ada dan menjadi bagian perjalanan membangun reputasi KPK sampai hari ini,” ujarnya. (adm3/dtc)