Catatan Debat Pilgub Sumsel: Semua Resah Dengan Kemiskinan dan Infrastruktur!

Jumat, 16 Maret 2018
Direktur Suara Institute, Solehun, M. Pd.

SEBAGAI salah satu jenis kampanye dalam Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur Sumatera Selatan 2018-2023, Debat Publik pasangan calon tahap pertama telah digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel di Ballroom Hotel Novotel Palembang, Rabu (14/3/2018) malam dan disiarkan langsung oleh TVRI Sumsel.

Dalam debat yang berlangsung dinamis dan damai itu, berbagai isu pembangunan daerah secara kontekstual diangkat oleh keempat paslon. Namun, dari sekian isu pembangunan itu nampaknya dua isu terkait angka kemiskinan dan infrastruktur di Sumatera Selatan menjadi topik yang paling sentral sekaligus menjadi trigger bagi paslon dalam menyusun program solutif pada kampanyenya.

Terkait kemiskinan,’kehebohan’ berawal dari data statistik yang menunjukkan angka kemiskinan Sumsel per September 2017 masih cukup besar yakni 13,1 persen (1.086.760 jiwa) dan di atas rata-rata nasional (10,12 persen). Jika dibuat ranking, angka kemiskinan Sumsel ini berada di peringkat ke-11 Nasional dan ke-4 di Pulau Sumatera. Sementara untuk lingkup Sumbagsel, angka kemiskinan Sumsel terbesar ke-3 setelah Bengkulu (15,59) dan Lampung (13,04), serta jauh di atas Bangka Belitung (5,2).

Banyak solusi program yang dijanjikan paslon untuk mengurangi angka kemiskinan Sumsel yang secara dominan berada di daerah perdesaan ke depannya. Paslon Nomor 1 Herman Deru-Mawardi Yahya misalnya, menawarkan program pendirian pabrik karet dan intensifikasi pertanian. Paslon nomor 2 Saifudin Aswari Rivai-Irwansyah menawarkan program OK OCE KITO, Kredit Lunak Perempuan Mandiri dan Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui 1000 Masjid.

Advertisements

Program solutif juga ditawarkan Paslon nomor 3 Ishak Mekki-Yudha Pratomo yakni hilirisasi kelapa sawit dan karet serta pemberian bantuan kepada 50 ribu UMKM. Sementara paslon nomor 4 Dodi Reza Alex-Giri Ramanda Kiemas menawarkan program peremajaan (replanting) gratis untuk kebun karet, sawit dan kopi, serta optimalisasi sawah dan pertanian.

Lantas, bagaimana dengan persoalan infrastruktur? Sudah barang tentu, permasalahan infrastruktur jalan di Sumatera Selatan pun menjadi isu seksi. Pembangunan infrastruktur yang selama ini dinilai hanya terpusat di ibukota provinsi (Palembang) dan masih banyaknya jalan Provinsi yang rusak berat dan ringan di hampir seluruh kabupaten/kota, mengundang keprihatinan para paslon.

Paslon nomor 1 bertekad akan menjamin jalan provinsi mulus di setiap kabupaten/kota. Sedangkan paslon nomor 2 akan melakukan perbaikan jalan provinsi yang rusak dan membangun jalan aspal baru berkualitas tinggi hingga ke tingkat desa yang dipadukan dan dikoordinasikan dengan program serupa yang dijalankan Pemerintah Kota/Kabupaten se-Sumsel untuk mendukung ekonomi rakyat.

Lain halnya disampaikan oleh paslon nomor 3 dan nomor 4, yang seolah ingin berpacu dengan waktu. Paslon nomor 3 akan melakukan perbaikan infastruktur jalan ini dalam waktu 1 tahun. Sementara paslon nomor 4 menjanjikan waktu 2 tahun untuk mewujudkan jalan infrastruktur selesai mantap 100 persen.

Sementara terkait infrastruktur listrik, hanya paslon nomor 2 yang secara eksplisit menawarkan program Sumsel Benderang untuk mengatasi persoalan ketersediaan listrik yang kurang merata di wilayah Sumsel dan terbebas dari byar-pet.

Apa yang telah disampaikan para paslon dalam debat tersebut tentunya akan menjadi referensi bagi warga Sumsel dalam memilih pemimpinnya untuk lima tahun ke depan. Dalam kesempatan ini, penulis hanya ingin kembali mengingatkan betapa keresahan rakyat soal angka kemiskinan dan fasilitas publik, dalam hal infrastruktur, harus disahuti secara serius ke depan. Di sini pemimpin harus hadir dan cekatan untuk berbuat tentang apa yang diinginkan rakyat. Bukan sebaliknya, hanya melakukan apa yang hanya menjadi selera sang pemimpin.

Soal angka kemiskinan Sumsel, jelas ini menjadi persoalan serius bahkan bertemali dengan persoalan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang baru 68,24 dan berada di bawah IPM Nasional, dan angka pengangguran di daerah ini yang masih 4,39 persen atau sekitar 180 ribu dari kurang lebih 4 juta total angkatan kerja. Bahkan fakta kemiskinan ini telah jauh dari sasaran pengurangan tingkat kemiskinan sebagaimana tertuang dalam Buku III RPJMN 2015-2019 yakni 12,20 – 8,60 atau mesti terjadi penurunan tingkat kemiskinan sebesar 3,6 persen selama lima tahun.

Sementara selama kurun waktu 2015-2019, Sumsel yang diharapkan mampu menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 5,31 poin persentase atau 1,06 poin persentase per tahun, hanya mampu menurunkan angka kemiskinan Sumsel rata-rata 0,27 persen per tahun. Sebagai catatan, penduduk miskin Sumsel 2014 sebesar 13,91 dan berhasil diturunkan menjadi 13,1 persen pada 2017.

Peluang untuk mempercepat penurunan kemiskinan sungguh masih terbuka, mengingat daerah ini cukup kaya sumber daya alam khususnya di sektor energi dan pertanian. Persoalannya, tinggal sejauhmana kita mampu berdaya dan berinovasi  melakukan  peningkatan produktivitas sektor pertanian dan industri kecil, mengingat kedua lapangan usaha tersebut selama ini yang menjadi konsentrasi penduduk miskin di Sumatera Selatan.

Perlu juga dipahami bahwa kemiskinan kerap disebabkan oleh struktur sosial dalam masyarakat yang kurang mampu memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam yang melimpah akibat terbatasnya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki. Atas dasar itu pula, upaya mengurangi kemiskinan ini sejatinya tidak boleh melupakan persoalan peningkatan pendidikan warga Sumatera Selatan, berikut kompetensi dan keterampilannya.

Pada saat yang sama, kemiskinan juga beririsan dengan persoalan infrastruktur, baik jalan, jembatan ataupun listrik. Sebagai pengingat, tingkat kesenjangan ekonomi antarkota dan kabupaten di Sumatera Selatan sejauh ini masih cukup tinggi, seperti ditunjukan dengan nilai indeks Wiliamson dari tahun 2009-2013 berkisar antara 0,57 – 0,62 (BPS 2013).

Penyebab kesenjangan ekonomi dan sosial di Sumsel tersebut antara lain karena masih terbatasnya jangkauan sarana dan prasarana bagi masyarakat, terutama yang tinggal jauh dari perkotaan, baik yang tinggal di daratan ataupun perairan. Faktanya, kerapatan jalan (rasio panjang jalan terhadap luas wilayah) Sumsel juga masih tergolong rendah yakni baru 18,71  (urutan ke-27 di Indonesia) sehingga Sumsel pun masih mengalami defisiensi infrastruktur jalan (BPS 2014). Kondisi ini tentu akan semakin kurang menggembirakan manakala kita mau mengupas lebih jauh betapa akses dan sarana sektor transportasi air yang juga tidak lebih baik.

Berpijak pada fakta di atas, tentu akan lebih bijak jika dalam membicarakan infrastruktur kita tidak hanya berhenti pada persoalan tambal-sulam membenari kerusakan jalan dengan targetan waktu tertentu. Tetapi lebih dari itu, kita semestinya berani melangkah lebih jauh pada target peningkatan jaringan jalan darat dan air, termasuk jaringan listrik di Sumsel yang saat ini rasio elektifikasinya masih 84,8 persen atau masih di bawah rasio nasional 92 persen (Data Kemen ESDM per Maret 2017).

Sekali lagi, upaya penurunan angka kemiskinan hanyalah pepesan kosong jika pada saat yang sama tidak dilakukan peningkatan dan perluasan infrastruktur sebagai akses masyarakat. Bukankah infrastruktur yang baik akan menjamin efisiensi, memperlancar pergerakan barang-jasa, dan meningkatkan nilai tambah perekonomian? Selamat mencerna debat Pilgub!

*) Penulis adalah Direktur Suara Institute

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.